Selasa, 14 April 2009

nikah mut'ah

Mazhab-mazhab fiqih sepakat bahwa nikah mut'ah adalah pernikahan yang halal. Rasulullah saw menghalalkannya dengan wahyu dari Allah SWT dalam suatu waktu. Mereka hanya berselisih pendapat dalam hal kelanjutan kehalalannya. Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa kehalalan nikah mut'ah itu tetap berlaku dan tidak ada hadis yang menghapuskannya. Pendapat ini berbeda dengan pendapat mazhab-mazhab yang empat (mazhab-mazhab Ahlusunah) yang mengharamkannya karena ketentuan itu sudah dihapus.
Karena kehalalan nikah mut'ah merupakan hal yang khusus terdapat dalam fiqih Syi'ah, maka kami akan membahasnya dengan bersandar pada Al-Qur'an dan sunah secara garis besar. Sehingga pembaca yang mulia mengetahui asal mula pensyariatannya dan tidak adanya penghapusan (naskh) terhadap apa yang telah ditegaskan Al-Qur'an dan sunah ini. Sedangkan pendapat sebagian ulama bahwa nikah mut'ah itu sama sekali tidak pernah disyariatkan dan pengakuan bahwa hukum tersebut sudah dihapus adalah bertentangan dengan Al-Qur'an dan sunah. Di samping itu, sebagian besar sahabat dan tabi 'in mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan tersebut dihalalkan dan menyatakan bahwa tidak ada dalil yang menghapuskannya. Hanya 'Umar bin al-Khaththab yang melarangnya menurut inisiatifnya sendiri atau ijtihad pribadi yang tidak dapat dijadikan dalil dan tidak dapat dijadikan'hujah bagi orang lain. Hal serupa berlaku pada mut'ah haji (haji tamattu) yang pernah berlaku pada zaman Rasulullah saw.
Nikah mut'ah adalah pernikahan seorang perempuan merdeka jika tidak ada perintang-berupa hubungan nasab, persusuan, status sudah bersuami, dalam masa 'iddah, dan larangan-larangan syariat lainnya-dengan mahar tertentu hingga batas waktu tertentu atas dasar keridhaan dan kesepakatan. Jika batas waktu itu telah berakhir, berakhir pula pernikahan itu tanpa ada talak. Jika telah bercampur, ia harus menunggu masa 'iddah seperti masa 'iddah dalam talak-bagi yang belum menopous-kalau ia masih mengalami haid. Jika ia tidak mengalami haid, masa 'iddahnya adalah 45 hari.
Anak yang diperoleh dari pernikaan mut'ah, baik laki-laki maupun perempuan, mengikuti garis keturunan ayah dan bernasab kepadanya. la juga berhak mendapat warisan yang telah Allah SWT wasiatkan kepada kita dalam Al-Qur'an. Selain itu, ia juga berhak memperoleh warisan dari ibunya, dan memperoleh segala hal yang berkaitan dengan hubungan anak, ayah, dan ibu. pemikian pula, kepamanan berkenaan dengan sauara-saudara laki-laki, saudara-saudara perempuan, paman, dan bibi.
Pendek kata, perempuan yang dinikah mut'ah adalah istri yang hakiki, dan anaknya pun adalah anak yang hakiki. Tidak ada perbedaan di antara dua pernikahan-pernikahan permanen dan pernikahan mut'ah-kecuali satu hal. Yaitu, dalam pernikahan mut'ah tidak ada pewarisan dan pemberian nafkah di antara suamiistri kecuali yang disyaratkan dalam akad nikah, seperti halnya 'azl. Perbedaan-perbedaan parsial ini merupakan perbedaan-perbedaan dalam hukum, bukan dalam esensi.. Sebab, esensi kedua jenis pernikahan itu sama kecuali yang pertama bersifat temporal dan yang kedua bersifat permanen. Selain itu, yang pertama berakhir dengan berakhirnya jangka waktu yang ditentukan dalam akad nikah, sedangkan yang kedua berakhir bila terjadi talak atau pembatalan akad nikah.
Kaum Muslim sepakat bahwa Allah swt telah mensyariatkan pernikahan i.ni dalam masa awal Islam. Tidak seorang pun meragukan prinsip pensyariatannya. Yang menjadi perselisihan pendapat hanyalah dalam hal apakah syariat itu sudah dihapus atau masih tetap berlaku.
Landasan pensyariatannya adalah firman Allah SWT, "... (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan ( dalam perkawinan) dua perempuan yang
yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri ) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya ( dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban. Dan tidak mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. " (QS. an-Nisa' [4]: 23-24)
Ayat ini menjelaskan nikah mut'ah karena beberapa alasan berikut.
Mengartikan Ayat di Atas Untuk Nikah Permanen
1. Menjadikan Pengulangan Hukum yang Tidak Perlu
Surah ini. yakni surah an-Nisa., menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum dan hak-hak perempuan. Disebutkan jenis-jenis pernikahan pada awal surah dengan susunan khusus. Adapun pernikahan permanen telah ditunjukkan Allah SWT dengan firman-Nya. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil; maka (kawinilah) seorang saja. “(QS. an-Nisa [4]: 3)
Tentang hukum-hukum mahar telah disebutkan dalam ayat berikutnya, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”(QS. an-Nisa. [4]: 4)
Allah SWT juga berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka untuk kawin lagi dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya. (QS. an-Nisa' [4]: 19)
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan ( menanggung) dosa yang nyata? (QS. an-Nisa' [4]: 20)
Sedangkan tentang menikahi budak-budak telah dijelaskan dalam firman-Nya, "Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini perempuan merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain. Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan pula perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. " ( QS. an-Nisa' [ 4] : 25 )
Firman Allah SWT min ma malakat aymanukum ( dari budak-budak yang kamu miliki) menunjukkan pernikahan majikan dengan budaknya. Hal ini dijelaskan juga dalam firman-Nya, "kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. " (QS. al-Mu'minun [23]: 6)
Firman Allah swt karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka menunjukkan pernikahan budak milik orang lain.
Sampai di sini, selesailah penjelasan tentang jenis-jenis pernikahan. Tidak ada lagi jenis pernikahan yang tersisa selain nikah mut'ah. Itulah yang dijelaskan dalam ayat sebelumnya. Sedangkan menyamakan firman Allah: fa mastamt'tum dengan pernikahan permanen. Dan firman Allah: fa atuhunna ujurohunna dengan mahar dan sedekah, menjadikan penyebutan hukum yang berulang-ulang.
Akan dijelaskan kepada Anda keberadaan nikah mut'ah pada pennulaan Islam. Tidaklah pantas Pemberi syariat (Allah) mengabaikan hukumnya.
Orang yang memperhatikan surah tersebut akan mengetahui bahwa ayat-ayatnya menjelaskan jenis-jenis pernikahan dengan susunan khusus. Hal itu tidak terwujud kecuali dengan mengartikan kandungan ayat itu dengan nikah mut'ah, sebagaimana yang tampak pada lahiriah ayat tersebut.
2. Penjelasan para Sahabat tentang Turunnya Ayat Tersebut.
Sejumlah besar ahli hadis menjelaskan bahwa ayat tersebut -turun berkenaan dengan nikah mut'ah. Periwayatan mereka sampai kepada Ibn ' Abbas, Ubay bin Ka 'ab, ‘Abdullah bin Mas'ud, Jabir bin 'Abdullah al-Anshari, Hubaib bin Abi Tsabit, Sa'id bin Jubair, dan lain-lain dari kalangan ahli hadis yang tidak mungkin merekayasa hadis dan membuat kebohongan.
Para mufasir dan ahli hadis telah menyebutkan turunnya ayat tersebut.
Imam mazhab Hanbali, Ahmad bin hanbal, dalam Musnadnya.
Abu Ja 'far athThabari dalam Tafsir-nya.
Abu Bakar al-Jashshash al-Hanafi dalam Ahkam al-Qur'an.
Abu Bakar al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra.
Mahmud bin 'Umar az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf
Abu Bakar bin Sa'dun al-Qurthubi dalam tafsir Jami' al-Ahkam al-Qur'an.
Fakhruddin ar-Razi dalaffi MaJatih al-Ghayb.
Masih banyak lagi ahli hadis dan mufasir yang datang setelah itu hingga masa kita ini. Saya tidak akan memperpanjang pembahasan ini dengan menyebutkan nama-nama mereka.
Tidak seorang pun menuduh para ulama tersebut dengan menyebutkan apa yang tidak mereka fatwakan. Dengan memperhatikan bukti-bukti ini, tidak diragukan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nikah mut'ah.
Makna ayat itu adalah: Sesungguhnya Allah swt mensyariatkan bagi kamu pernikahan selain yang diharamkan untuk mencari dengan hartamu apa yang dapat melindungimu, memelihara kesucian dirimu, dan mencegahmu dari perzinaan. Jika kamu menikah untuk bersenang-5enang, bayarkanlah maskawinnya kepada mereka.
Pada dasamya, tujuan pernikahan itu adalah untuk memelihara diri. Tujuan itu dapat terwujud melalui semua jenis pernikahan, baik pernikahan permanen, pernikahan mut'ah, maupun pernikahan dengan budak milik orang lain yang disebutkan dalam surah ini dari awal hingga ayat 25.
Inilah yang dipahami setiap orang dari lahiriah ayat-ayat tersebut. Namun, orang-orang yang tidak berhati bening mengambil lahiriah ayat: famlis tamta'tum bihi minhunna fa 'tuhunna ujurahunna (maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya) karena dorongan nafsu atau lingkungan yang berusaha menerapkan makna ayat tersebut pada akad pernikahan permanen. Dalam masalah ini ia menyebutkan beberapa keraguan yang tidak berarti apa-apa setelah diberi bantahan. Berikut ini rangkumannya.
Pertama, tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk membina keluarga dan meneruskan keturunan. Hal ini hanya dapat terwujud melalui pernikahan permanen, tidak melalui pernikahan temporal (nikah mut'ah) yang hanya menghasilkan kecuali kepuasan syahwat dan mencurahkan sperma.
Jawab: ia telah mencampur-adukkan antara masalah ini dan manfaat yang dihasilkannya. Apa yang ia sebutkan hanyalah dari aspek hikmah. Padahal, hukum berbeda dengan hikmah. Karena keadaan terpaksa, suatu pernikahan dikatakan sah walaupun dilakukan tanpa memperhatikan tujuan-tujuan di atas, seperti pernikahan dengan perempuan mandul, yang telah menopous, dan anak di bawah urnur. Bahkan kebanyakan orang yang menikah pada usia muda melalui pernikahan permanen tidak memiliki tujuan kecuali untuk menyalurkan hasrat dan memenuhi dorongan syahwat melalui cara yang sah. Mereka sarna sekali tidak berpikir untuk mencari keturunan walaupun akhirnya keturunan itu mereka peroleh juga. Hal itu tidak merusak keabsahan pernikahan mereka.
Adalah mengherankan, memberikan batas bahwa tujuan nikah mut'ah adalah untuk memenuhi hasrat semata-mata. Padahal, pernikahan tersebut, seperti juga pernikahan permanen, kadang-kadang dimaksudkan untuk menghasilkan keturunan, mengabdi, membina rumah tangga, serta mendidik, menyusui, dan merawat anak-anak walaupun hal seperti itu jarang ditemui.
Karni ingin bertanya kepada orang-orang yang melarang nikah mut'ah, yang menganggap pernikahan tersebut menyalahi hikmah yang menjadi tujuan disyariatkan pernikahan. Kami bertanya kepada mereka tentang suami-istri yang menikah dengan pernikahan permanen tetapi mereka berniat untuk bercerai setelah dua bulan. Apakah pernikahan seperti ini sah atau tidak? Saya kira tidak ada seorang pun dari ahli fiqih Islam yang melarang hal itu kecuali apabila ia mengeluarkan fatwa tanpa dalil dan burhan. Dengan demikian, tampaklah dengan jelas keabsahan pernikahan ini. Tidak ada perbedaan antara pernikahan mut’ah dan pernikahan permanen seperti ini selain pada jenis pertama disebutkan jangka waktunya sedangkan pada jenis kedua tidak disebutkan jangka waktunya?
Penulis tafsir al-Manar berkata, "Mengingat adanya penegasan para ulama terdahulu dan para ulama kemudian dalam melarang nikah mut’ah, maka pernikahan (permanen) dengan niat akan bercerai pun harus dilarang. Kalau para ahli fiqih mengatakan bahwa akad nikah yang dilakukan itu-sementara suami meniatkannya untuk jangka waktu tertentu tetapi tidak disyaratkan dalam redaksi (shighat) akad, melainkan menyembunyikannya dalam hati-adalah sah, hal itu dipandang sebagai tipuan dan kebohongan. Akad seperti itu lebih pantas dibatalkan daripada akad yang mensyaratkan ditentukannya jangka waktu (dalam redaksinya)."
Kita asumsikan bahwa suami-istri itu rela dengan ketentuan jangka waktu tersebut sehingga tidak terdapat usaha penipuan dan kebohongan. Maka akad pernikahan itu sah tanpa dapat disangkal lagi.
Kedua, menghalalkan nikah mut’ah adalah bertentangan dengan apa yang ditegaskan dalam al-Qur'an, seperti firman Allah swt ketika menyebutkan. sifat-sifat kaum Mukmin, "... dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. " (QS. al-Mu'minun [23]: 5-7)
Yang dimaksud dengan firman-Nya Barangsiapa yang mencari adalah orang-orang yang berpaling dari apa yang telah dihalalkan Allah kepada apa yang diharamkan-Nya. Perempuan yang dinikah mut’ah bukan istri yang memperoleh hak-hak dari suami, dengan cara yang baik.
Keraguan itu dapat dijawab. Hal itu merupakan pengakuan tanpa bukti. Sebab, ia adalah seorang istri dan ada hukum-hukum yang mengaturnya. Tidak adanya pemberian nafkah dan pembagian harta tidak mengubah statusnya sebagai seorang istri. Perempuan yang berbuat durhaka kepada suami tetap berstatus sebagai istri, tetapi ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan hak pembagian. Seperti itu pula perempuan yang dinikahi dalam usia kanak-kanak. Anehnya, mereka berdalil dengan tidak adanya hukum-hukum yang menafikan esensi tersebut. Padahal, pernikahan mengikatkan antara suami dan istri yang menyebabkan timbulnya sejumlah hukum. Kadang-kadang sebagian hukum itu mengkhususkan sebagian yang lain.
Ketiga, laki-laki yang melakukan nikah mut'ah tidak bermaksud memelihara kesucian diri. Melainkan ia hanya bertujuan untuk memuaskan dorongan seksualnya. Kalaupun ia bertujuan untuk memelihara kesucian dirinya agar tidak jatuh ke dalam perzinaan, tetapi tidak demikian halnya dengan perempuan yang melacurkan dirinya setiap jangka waktu tertentu kepada seorang laki-laki. Keadaan perempuan itu seperti yang dikatakan penyair:
Bola dilempar dengan tongkat perak
laki-laki demi laki-laki menangkapnya.
Jawab: dari mana diketahui bahwa memelihara kesucian diri hanya dilakukan oleh laki-laki~ tidak oleh perempuan. Jika kita asumsikan bahwa akad nikah itu sah, maka dengan cara ini masing-masing dari kedua pihak itu menjaga kesucian dirinya. Jika tidak, tidak diragukan bahwa ia akan jatuh ke dalam perzinaan. Yang dapat memelihara pemuda dan pemudi dari perzinaan adalah salah satu dari tiga hal berikut:
Pernikahan permanen.
Pernikahan mut'ah dengan cara yang telah disebutkan.
Menahan dorong seksual.
Cara pertama, kadang-kadang tidak mudah dilakukan, terutama bagi mahasiswa dan mahasiswi yang hidup dari uang kiriman yang tidak seberapa dari orangtua mereka atau beasiswa dari pemerintah. Menahan dorongan seksual adalah sesuatu yang tidak mudah. Tidak ada yang dapat melakukannya kecuali orang pemuda dan pemudi yang sempurna. Tetapi jumlah mereka sangat sedikit. Maka tidak ada cara lain selain cara kedua. Cara ini dapat memelihara pemuda dan pemudi dari mendatangi rumah-rumah pelacuran.
Agama Islam adalah agama penutup semua agama; Nabinya merupakan penutup para nabi; Kitabnya merupakan penutup semua kitab suci; syariatnya merupakan penutup semua syariat.
Karenanya Islam harus memberikan solusi menurut syariat bagi setiap permasalahan. Dengan cara itu Islam akan memelihara kemuliaan kaum Mukmin baik laki-laki maupun perempuan. Masalah seksual pada laki-laki dan perempuan tidak mungkin diabaikan oleh agama Islam. Ketika itu, dengan sendirinya muncul pertanyaan berikut.
Apa yang harus dilakukan mahasiswa dan mahasiswi yang tidak mampu melakukan pernikahan permanen, tetapi kemuliaan dan agama mereka melarang mereka mendatangi rumah-rumah pelacuran, sementara keindahan kehidupan materialistis mengobarkan api syahwat dalam diri mereka? Pada umumnya, dalam keadaan seperti itu mustahil seseorang dapat memelihara kesucian dirinya kecuali orang yang dipelihara oleh Allah. Tidak ada lagi cara lain selain menempuh pernikahan mut'ah yang merupakan solusi terbaik untuk menghindari perzinaan. Ada satu ucapan ‘Ali bin Abi Thalib yang selalu terngiang di telinga, yang memperingatkan akan memuncaknya masalah ini jika penanggulangannya dengan cara yang diajarkan Pemberi syariat diabaikan. ' Ali bin Abi Thalib berkata, “Kalau 'Umar tidak melarang mut'ah, tentu tidak akan ada yang berzina kecuali laki-laki atau perempuan yang celaka."
Menyamakan pernikahan mut'ah dengan apa yang disebutkan dalam syair di atas menunjukkan ketidaktahuan orang itu terhadap hakikat dan definisi nikah mut'ah. Yang disebutkan dalam syair itu adalah nikah mut’ah periodik yang dituduhkan oleh orang itul dan yang lain kepada Syi’ah. Padahal, kaum Syi’ah sendiri berlepas diri dari kebohongan ini. Sebab, setelah berakhir jangka waktu yang ditentukan, perempuan yang dinikahi mut'ah harus menunggu masa ‘iddah seperti yang telah disebutkan di atas. Maka, bagaimana mungkin ia menjajakan dirinya setiap saat kepada laki-laki? Mahasuci Allah dari kelancangan mereka dalam membuat dusta dan kebohongan kepada Syi’ah. Isi dari syair itu hanyalah satu bentuk kelancangan terhadap wahyu dan syariat Ilahi. Padahal, para ahli hadis dan ahli tafsir sepakat bahwa nikah mut'ah itu telah disyariatkan. Kalaupun ada larangan atau penghapusan hukum, hal itu hanyAlah datang setelah nikah mut’ah itu disyariatkan dan dilaksanakan.
Keempat, ayat itu telah dihapus dengan sunah. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam menetapkan kapan masa penghapusan itu dilakukan. Berikut ini beberapa pendapat tentang itu:
1. Nikah mut'ah dibolehkan, kemudian dilarang pada saat terjadi Perang Khaybar.
2. Mut'ah tidak dihalalkan kecuali pada 'umrah qadha.
3. Nikah mut'ah dihalalkan, lalu dilarang pada saat Penaklukan kota Makkah.
4. Nikah mut'ah dibolehkan pada saat terjadi peperangan, tetapi kemudian dilarang.
Pernyataan-pernyataan ini menafikan keyakinan adanya penghapusan hukum ( naskh) , sebagaimana penghapusan hukum Al Qur'an dengan hadis ahad yang sangat dilarang. Diriwayatkan sebuah hadis sahih dari 'Imran bin al-Hushain bahwa ia berkata, "Sesungguhnya Allah SWT menurunkan (ayat tentang) nikah mut'ah dan tidak melarangnya. Rasulullah saw memerintahkan kami untuk melakukan pernikahan mut'ah dan tidak melarangnya. Kemudian seseorang mengatakan menurut pendapatnya sendiri." Seseorang yang ia maksud ialah 'Umar bin al-Khaththab.
Khalifah kedua itu tidak mengatakan adanya penghapusan. Melainkan ia menetapkan larangan itu berdasarkan pendapatnya sendiri. Kalau ada nas dari Al1ah ' Azza wa Jalla atau dari Rasulullah saw yang menghapusnya, tentu ia menetapkan larangan itu berdasarkan keduanya. Telah tersebar,luas ucapan 'Umar di atas mimbar, "Ada dua mut'ah yang berlaku pada zaman Rasulullah saw tetapi saya meIarangnya dan akan menghukum siapa saja yang melakukannya. Yaitu, mut’ah haji dan mut'ah (dalam menikahi) perempuan. Bahkan, seorang ahli kalam mazhab Asy'ariyah menukil dalam Syarh 'ala Syarh at-Tajrid, bahwa 'Umar mengatakan, "Wahai orang-orang, ada tiga hal yang berlaku pada zaman Rasulullah saw tetapi saya melarang dan mengharamkannya, serta menghukum siapa saja yangmelakukannya. Yaitu mut'ah haji, mut'ah (dalam menikahi) perempuan, dan (ucapan) hayya 'ala khayril 'amat dalam azan."
Telah diriwayatkan dari Ibn ' Abbas-ia termasuk orang-orang yang menjelaskan kehalalan mut'ah dan membolehkannya-bahwa ia menanggapi orang yang mendebatnya dengan pelarangan dari Abu Bakar dan 'Umar. la berkata, "Hampir turun hujan batu dari langit kepadamu. Saya katakan, 'Rasulullah saw bersabda ...', sedangkan kalian mengatakan, 'Abu Bakar dan 'Umar berkata ...'"
Bahkan ketika Ibn 'Umar ditanya tentang mut'ah, ia memberi fatwa tentang kehalalannya. Kemudian mereka mempertentangkannya dengan ucapan ayahnya. Tetapi ia bertanya kepada mereka, "Perintah siapakah yang lebih patut diikuti, perintah Rasulullah saw atau perintah 'Umar?"
Semua itu menunjukkan bahwa tidak ada penghapusan dan pelarangan dari Nabi saw. Yang ada hanyalah pengharaman dari khalifah. Pada dasarnya, pelarangan itu merupakan ijtihad melawan nas yang jelas. Selain itu, sejumlah sahabat terus-menerus menyatakan penolakan mereka terhadapnya dan ketidakpatuhan mereka pada perintahnya itu. Apabila khalifah itu berijtihad karena alasan-alasan yang dilihatnya dan mengeluarkan fatwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, yang utama bagi orang-orang yang mengikutinya adalah bersikap hati-hati terhadap masalah ini. Hendaknya mereka tidak berlebih-lebihan dalam membenarkannya tanpa hujah dan dalil.
Orang-orang yang Menolak Larangan Itu
Telah kami sebutkan bahwa sejumlah besar sahabat dan tabi'in menolak larangan itu dan tidak mengakuinya. Di antara mereka adalah sebagai berikut:
I. ' Ali Amirul Mukminin. Dalam hadis yang diriwayatkan ath-Thabari dengan sanad-sanad yang bersambung kepada Imam ‘Ali, bahwa Imam ' Ali berkata, "Kalau 'Umar tidak melarang mut'ah, tentu tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang celaka.”
2. ' Abdullah bin 'Umar. Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin 'Umar, bahwa ia-setelah ditanya tentang nikah mut'ah-berkata, "Demi Allah, pada zaman Rasulullah saw kami tidak berzina.” Selanjutnya ia berkata, "Demi Allah, saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sebelum hari kiamat, pasti muncul al-Masih ad-Dajjal dan tiga puluh pendusta atau lebih.”
3. ' Abdullah bin Mas'ud. AI-Bukhari meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin Mas'ud, bahwa ia berkata, "Kami pergi berperang bersama Rasulullah saw dan tidak membawa sesuatu apa pun. Lalu kami bertanya, 'Bolehkah kami berkebiri?' Namun, beliau melarang hal itu. Kemudian beliau memberikan keringanan kepada kami agar menikahi perempuan hingga jangka waktu tertentu. Kemudian beliau membaca ayat, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai urang-orang yang melampaui batas. " (QS. al-Ma'idah [4]: 87)
4. 'lmran bin Hushain. Al-Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan hadis darinya. la berkata, "Turun ayat tentang mut'ah dalam Kitab Allah. Maka kami melaksanakannya bersama Rasulullah saw. Tidak pemah turun ayat Al-Qur'an yang mengharamkannya dan beliau pun tidak melarangnnya hingga beliau wafat. Seseorang hanya mengatakan menurut pendapatnya sendiri sekehendak hatinya.
Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan hadis dari Abu Raja' dari 'Imran bin Hushain. la berkata, "Turun ayat tentang mut'ah dalam Kitab Allah dan kami mengamalkannya bersama Rasulullah saw. Tidak pemah turun ayat yang melarangnya dan Nabi saw pun tidak melarangnya hingga beliau wafat.
5. Selain itu, seorang khalifah Abbasiyyah, al-Ma'mun, pada masa pemerintahannya hampir menyerukan penghalalan nikah mut'ah. Namun, ia merasa khawatir akan munculnya fitnah dan perpecahan di tengah kaum Muslim. Ibn Khalkan mengutip ucapan Muhammad bin Manshur: Kami bersama al-Ma'mun dalam suatu perjalanan menuju Syam. Lalu ia memerintahkan agar diserukan penghalalan nikah mut'ah. Kemudian Yahya bin Aktsam berkata kepada saya dan Abu al-' Ayna ' , "Datanglah kepadanya besok pagi-pagi sekali. Kalau kalian melihat kesempatan untuk berbicara maka berbicaralah. Jika tidak, maka diamlah hingga saya masuk." Esok harinya kami menemuinya, sementara ia sedang bersiwak (menyikat gigi). Sambil berjongkok ia berkata, " Ada dua mut'ah yang pernah berlaku pada zaman Rasulullah saw dan zaman Abu Bakar ra tetapi saya malarangnya. Siapakah engkau, berani-beraninya melarang apa yang pernah dilakukan Rasulullah saw dan Abu Bakar ra?" Sambil memberi isyarat kepada Muhammad bin Manshur, Abu al-' Ayna' berkata, "Orang ini berbicara tentang 'Umar bin al-Khaththab, apakah perlu kita jawab?' Namun kami diam saja sampai akhimya. Lalu Yahya bin Aktsam datang. la duduk dan kami pun duduk. Al-Ma'mun bertanya kepada Yahya, "Mengapa aku lihat engkau berubah?" Yahya menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, ini adalah perasaan sedih karena sesuatu telah terjadi pada Islam." AI-Ma'mun bertanya, "Apa yang terjadi pada Islam?" Mauhammad bin Manshur men.jawab, "Seruan menghalalkan zina..” Al-Ma'mun bertanya, "Zina?' Muhammad bin Manshur menjawab, "Benar. Nikah mu'tah adalah zina." Al-Manshur be:tanya lagi, Dari mana engkau mengetahui hal ini?" la menjawab, Dari Kitab Allah' Azza wa Jalla dan hadis Rasulullah saw Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orangorang yang menunaihan zahat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya hecuali terhadap istri-istri mereha atau budak yang mereka miliki. Maha sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orangorangyang melampaui batas" (QS. al-Mu'minun [23]: 1-7). Wahai Amirul Mukminin, apakah perempuan yang dinikah mut'ah itu adalah budak yang dimiliki?" Al-Ma'mun menjawab, "Bukan." Muhammad bin Manshur bertanya lagi, “ Apakah ia istri yang di sisi Allah mewarisi dan mewariskan, serta mempunyai anak (yang dinasabkan kepadanya) , dan dipenuhi syarat-syaratnya?" Al-Ma'mun menjawab, "Tidak." Maka Muhammad bin Manshur berkata, "Maka orang yang melampaui batas dalam kedua hal ini termasuk orang-orang yang melampaui batas (yang disebutkan dalam ayat di atas)."
Saya katakan: Ibn Aktsam telah menyimpang jauh-dan ia termasuk orang-orang yang menyembunyikan permusuhan kepada ahlulbait-dengan menganggap bahwa nikah mut'ah termasuk dalam firman Allah SWT, ...kecuali kepada istri-istri mereka dan bahwa tidak adanya pewarisan merupakan takhshish dalam hukum.
Padahal, hal itu tidak menafikan berlaku hukum tersebut. Betapa banyak hal serupa itu, seperti istri yang kafir tidak mewarisi harta suami yang Muslim, begitu pula sebaliknya; istri yang membunuh suaminya tidak mendapat warisan harta darinya, demikian pula sebaliknya. Adapun anak, tentu bemasab kepadanya. Menafikan penasaban anak ini muncul karena ketidaktahuan terhadap hukum nikah mut’ah atau berpura-pura tidak mengetahuinya.
Betapa buruk yang ia ucapkan. la menafsirkan nikah mut’ah dengan perzinaan. Padahal, umat ini telah menerima kehalalannya pada zaman Rasulullah saw dan khalifah pertama. Apakah Ibn Aktsam mengira bahwa Rasulullah saw menghalalkan perzinaan Walaupun dalam jangka waktu yang singkat?
Terdapat banyak hadis yang diriwayatkan dari khalifah (‘Umar) sendiri. Hadis-hadis itu menunjukkan bahwa pelarangan nikah mut’ah itu semata-mata keputusan menurut pendapatnya sendiri, tidak bersandar pada satu ayat atau satu hadis pun.
Muslim dalam Shahih-nya meriwayatkan hadis dari Ibn Abi Nadhrah. la berkata: Ibn .Abbas memerintahkan mut’ah, sedangkan Ibn Zubair melarangnya. Maka ia menyampaikan hal itu kepada Jabir. Jabir menjawab, "Di hadapanku beredar hadis: Kami melaksanakan mut’ah bersama Rasulullah saw. Ketika ‘Umar menjadi khalifah, ia berkata, Sesungguhnya Allah menghalalkan kepada Rasul-Nya apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki. Maka sempumakanlah haji dan 'umrah dan laksanakanlah pernikahan ini (permanen-penej.). Namun,jika ada" seorang laki-laki menikahi seorang perempuan untuk jangka waktu tertenu (nikah mut'ah), pasti aku akan merajamnya dengan batu.."
Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan hadis dari Abu Nadhrah. la berkata: Saya berkata kepada Jabir bahwa Ibn Zubair melarang nikah mut'ah, sedangkan Ibn 'Abbas memerintahkannya. Maka Jabir menjawab, "Di hadapanku beredar hadis: Kami melaksanakan nikah mut'ah bersama Rasulullah saw dan Abu Bakar. Ketika 'Umar diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak, 'Sesungguhnya Al-Qur'an adalah Al-Qur’an, dan sesungguhnya Rasulullah saw adalah seorang rasul. Keduanya memberlakukan dua mut’ah pada zaman Rasulullah saw. Yang pertama adalah mut'ah dalam haji (haji tamattu') dan yang kedua adalah mut'ah (dalam menikahi) perempuan."
Dari hadis-hadis di atas dapat ditarik dua kesimpulan berikut:
I. Kehalalan nikah mut'ah tetap berlaku hingga zaman kekhalifahan 'Umar bin al-Khaththab hingga saat ia melarangnya.
2. Dengan ijtihadnya sendiri ia memberlakukan pengharaman terhadap apa yang dihalalkan dalam Al-Qur'an dan sunah. Seperti telah diketahui, ijtihadnya-kalaupun dapat disebut ijtihad-adalah hujah yang berlaku bagi dirinya sendiri, tidak berlaku bagi orang lain.
Akhimya, kami katakan: Ketidaktahuan terhadap fiqih Syi'ah menyebabkan banyak penulis mereka-reka perkataan atas nama Syi'ah, khususnya dalam masalah nikah mut'ah yang sedang kita bahas. Mereka melemparkan berbagai pendapat dan hukum-hukum. Hal itu menunjukkan ketidaktahuan dan niat buruk mereka. Ucapan-ucapan itu di antaranya bahwa di antara hukum-hukum nikah mut'ah dalam mazhab Syi'ah adalah tidak adanya hak anak terhadap warisan ayahnya, dan bahwa perempuan yang dinikah mut'ah tidak memiliki masa 'iddah sehingga ia dapat berpindah dari satu laki-laki ke laki-laki yang lain jika ia mau. Karena itu, mereka memandang buruk dan menolak pernikahan mut’ah. Mereka pun mencela orang-orang yang menghalalkannya.
Hakikat yang sebenamya tidak mereka ketahui. Yaitu, Pertama, pernikahan mut'ah menurut Syi’ah adalah seperti pernikahan permanen. Pernikahan itu tidak sah kecuali dilakukan melalui akad yang mengisyaratkan adanya tujuan pernikahan itu secara jelas. Kedua, perempuan yang dinikah mut’ah harus terhindar dari seluruh penghalang (bukan muhrim). Ketiga, anak yang dihasilkan dari pernikahan itu adalah seperti anak yang diperoleh dari pernikahan permanen Dalam hal wajibnya mendapat warisan, pemberian nafkah, dan hak-hak material lainnya. Keempat, perempuan yang dinikah mut’ah itu harus menunggu masa ‘iddah setelah jangka waktu pernikahan itu berakhir dan jika telah bercampur. Apabila suaminya meninggal dunia dan ia berada dalam pemeliharaannya, ia harus menunggu ‘iddah seperti yang berlaku Dalam pernikahan permanen tanpa ada perbedaan. Dan konsekuensi-konsekuensi lainnya.
Suatu hal yang harus kita perhatikan dan kita ketahui dengan jelas adalah bahwa walaupun kaum Syi'ah mempercayai dan meyakini kehalalan nikah mut'ah dan tidak ada sesuatu yang mengharamkannya-itulah yang mereka nyatakan dengan jelas dan tanpa ragu-tetapi mereka tidak serta-merta melaksanakan pernikahan itu kecuali dengan syarat-syarat dan batasan-batasan yang ketat. Hal itu tidak seperti yang digambarkan dan dibayangkan oleh sebagian orang yang tersebar di tengah masyarakat mereka dan dalam bentuk yang sejelek-jeleknya.
Kami dan Doktor Muhammad Fathi Ad-Darini
Akhirnya, saya tahu ada sebuah buku tentang nikah mut'ah yang ditulis oleh As-Sa'ih ' Ali Husain dengan judul al-Ashl fi al Asyya' ...? Walakin al-Mut’ah Haram (Hukum Asal dalam Segala Sesuatu ...Tetapi Mut'ah itu Haram). Buku itu diterbitkan oleh Dar Qutaibah dan diberi kata pengantar oleh Doktor Muhammad Fathi ad-Darini, dekan fakultas Syariah, Universitas Damaskus.
Ada dua hal yang mendorong saya membuat komentar ini, yaitu :
I. Judul buku. Buku itu diberi judul dengan judul yang telah Anda ketahui. Penulisnya berusaha untuk menegaskan bahwa prinsip yang utama dalam segala sesuatu adalah kehalalan, dan mut'ah termasuk di dalamnya. Akan tetapi, ia mengecualikan nikah mut'ah dari prinsip itu dengan dalil tersebut. Kalau tidak begitu, tentu ditetapkan hukumnya sebagai halal. Dengan kata lain, ia berusaha menampakkan kebenaran satu pihak (yang mengatakan tentang kehalAlan mut'ah) untuk sementara tetapi yang prinsip itu berada di pihaknya. Akan tetapi, ia mengecuAlikannya dari prinsip itu dengan dalil yang terputus.
2. Kata pengantar dari Doktor ad-Darini dengan pena suci tanpa umpatan dan celaan kepada lawan yang berpendapat bahwa pernikahan mut'ah itu halal. Sikapnya dalam memelihara etika berdiskusi patut dihargai. Sebenarnya, orang seperti ia sedikit jumlahnya di kAlangan penulis tentang akidah Syi'ah dari sudut pandang Ahlusunah. Kebanyakannya-kecuAli beberapa orang saja di antara mereka-tidak membedakan antara tuduhan dan celaan, dan kadang-kadang mengafirkan-kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri karni.
Dengan itu semua; kami memperhatikan apa yang ditulisnya. Tampaklah bahwa sebagiannya merupakan pengingkaran terhadap apa yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, agar pembaca mengetahui butir-butir kesalahan dalam tulisannya, kami sebutkan hal-hal yang paling penting disertai komentar terhadapnya. Sedangkan sebagiannya lagi telah disebutkan ketika mendiskusikan beberapa keraguan.
Tentang judul, kami katakan bahwa para ahli fiqih dan ahli ushul berpendapat bahwa prinsip dalam segala sesuatu adalah kehalalan. Tetapi prinsip itu tidak mencakup darah, harga diri, dan harta karena asalnya adalah keharaman. Hal itu diketahui oleh orang yang sedikit pengetahuan tentang fiqih sekalipun. Oleh karena itu, kami melihat bahwa Allah SWT menetapkan prinsip berkenaan dengan darah adalah keharaman tetapi mengecualikan satu kasus, yaitu pembunuhan yang dibenarkan syariat. Allah swt berfirman, "... dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali (dengan) alasan yang benar" (QS. Al-Furqan [25]: 68). Selain itu, Allah memberikan penjelasan seperti itu berkenaan dengan harga diri dan kelamin. Allah swt berfirman, "... dan orang-orangyang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. " (QS. al-Mu'minun [23]: 5-6)
Adapun tentang prinsip keharaman berkenaan dengan harta, cukuplah den:gan firman Allah swt, "... janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu" ( QS. anNisa' [4]: 29). Selain itu, Rasulullah saw bersabda, “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaannya." Maka penggunaan harta orang lain adalah haram kecuali jika ia merelakannya.
Berdasarkan hal itu, prinsip berkenaan dengan pernikahan mut'ah yang merupakan upaya untuk menjaga kemaluan adalah haram dan untuk mengecuAlikannnya dari prinsip itu diperlukan dalil, serta pendapat para ahli ushul bahwa prinsip dalam segAla sesuatu adalah kehalalan mengacu pada kasus-kasus selain ini. Yaitu, yang mengacu pada pemanfaatan unsur-unsur alami oleh manusia.
Berdasarkan hal ini juga, apa yang diupayakan penulis buku itu yang menunjukkan keluwesan dalam pembahasannya sejalan dengan pendapat saudaraya dari kaum Syi'ah tentang kehalalan pernikahan mut'ah-menurut prinsip utama. Akan tetapi, dalil-dalil telak mendorongnya untuk menyatakan keharamannya. Hal itu merupakan upaya yang keliru dan tidak pada tempatnya. Saya mengira bahwa penulis itu tidak menguasai masalah-masalah ini.
Buku itu-tanpa bermaksud mengingkari dan mengurangi hak penulisnya-menyerupai sebuah novel, bukan buku fiqih. Selain itu, saya merasa heran, mengapa Doktor ad-Darini mau memberikan kata pengantar untuk buku ini. oleh karena itu, saya merasa tidak perlu mendiskusikan isinya. Kami merasa cukup dengan mengkajinya dari kata pengantarnya saja.
Tentang kata pengantar itu, telah kami sebutkan di atas. Akan tetapi, dalam menjelaskannya kami sertakan juga beberapa komentar setelah mengutipnya bagian demi bagian secara ringkas. Sebab, jika dinukil seluruhnya, tentu akan menyebabkan pembahasan ini menjadi bertele-tele.
Untuk memudahkan pembaca memahami dua paragraf itu, kami memerinci setiap tema dengan memberikan nomor dengan angka Romawi.
I. Hukum-hukum Syariat Mengikuti Kemaslahatan
Profesor itu berkata, "Telah disepakati di antara para ahli ushu1 dan fukaha-yang pendapat-pendapat mereka dipandang sebagai timbangan ilmu dan ijtihad-bahwa hukum-hukum syariat Islam memiliki maksud dan tujuan yang telah ditetapkan oleh Pembuat syariat secara pasti melalui penetapan hukum-hukumNya. Para muhaqqiq telah mengisyaratkan prinsip tersebut, yaitu bahwa hukum-hukum ditetapkan menurut kepentingan hamba."
Selanjutnya ia mengatakan, "Imam asy-Syathibi telah menuljs kitab al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari'ah wa Maqashiduha. Di situ ia menegaskan bahwa hukum-hukum syariat, selain aspek-aspek ibadah (ta'abbudiyyah), memiliki tujuan-tujuan yang dikehendaki Pembuat syariat dalam penetapan hukum-Nya. Karena itu, tidak ada artinya wasilah jika wasilah itu menyimpang atau bertentangan dengan tujuannya.
Berikut ini beberapa catatan atas ungkapan di atas.
1.Bahwa hukum-hukum ditetapkan menurut kepentingan adalah sesuatu yang dibenarkan Al-Qur'an dan hadis-hadis dari Keluarga Suci. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya (meminum) khamar; berjudi, (berkorban untuk ) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamardan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan salat. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). " (QS alMa'idah [5]: 90-91)
Masih banyak ayat-ayat tentang pensyariatan hukum. Isinya menunjukkan kepentingan-kepentingan yang menjadi sebab disyariatkannya suatu hukum.
Tentang hadis-hadis dari para imam ahlulbait, Syekh ash Shaduq Muhammad bin 'Ali bin Babawaih (306-381) telah menghimpunnya dalam sebuah kitab beljudul 'Ilal asy-Syarayi'. Kitab itu memuat ilmu para imam ahlulbait yang sepantasnya dirujuk oleh setiap orang. Kitab itu disusun sebelum asy-Syathibi atau guru-gurunya lahir. Syi'ah Imamiyah terkenal dengan fahamnya yang mengatakan bahwa hukum-hukum mengikuti kemaslahatan karena mengikuti para imam mereka, sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang merujuk pada kitab-kitab fiqih dan ushul mereka. Maka menekankan perhatian pada masalah ini adalah seperti memindahkan kurma ke dalam kantung.
2. Syekh al-Asy'ari, imam yang sangat terkenal di kalangan Ahlusunah, termasuk orang-orang yang menolak prinsip di atas dan memandangnya sebagai pembatasan terhadap kehendak Allah swt. la berkeberatan untuk memutlakkannya. Hal ini tampak jelas bagi mereka yang merujuk pada kitab-kitab Asy'ariyah dalam masalah-masalah ushul dan furu'. Mereka mencela orang-orang yang mengatakan bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan. Tetapi -mengapa profesor ini mengatakan bahwa prinsip tersebut merupakan, pendapat yang telah disepakati di kalangan para ahli ushu1 dan fukaha. Yah, ia membatasi orangorang yang berpendapat bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan, dengan orang-orang yang pendapat mereka dipandang sebagai timbangan ilmu dan ijtihad.
Saya tidak menyangka bahwa Imam al-Asy'ari dan sejumlah ulama yang mengikutinya termasuk orang-orang yang pendapat mereka tidak dipandang sebagai timbangan Ilmu dan ijtihad.
3. Profesor itu, karena mengikuti Imam asy-Syathibi, mengatakan bahwa prinsip yang mengatakan hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan kecuali masalah-masalah ibadah. Namun, saya tidak melihat adanya pengecualian di situ. Padahal, dalil yang sama menunjukkan bahwa prinsip tersebut berlaku untuk segala hal (termasuk masalah-masalah ibadah). Yaitu, untuk memelihara tindakan Allah SWT dari kesia-siaan. Dalil ini berlaku untuk masalah-masalah peribadatan dan masalah-masalah bukan peribadatan.
Benar, kadang-kadang kita tidak sampai pada tujuan-tujuan yang dimaksud dalam peribadatan. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa masalah peribadatan terlepas dari prinsip tersebut. Allah SWT berfirman, "... dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku" (QS. Thaha [20]: 14). Allah juga berfirman, "Sesungguhnya salat itu mencegah dari. (Perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar" (QS. Al-'Ankabut [29]: 45). Tentang puasa, Allah berfirman, "Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. " ( QS. alBaqarah [2] : 183)
Mengecualikan masalah-masalah peribadatan dari prinsip itu sama saja dengan membatasi kaidah akal. Padahal, seperti telah diketahui, kaidah akal tidak dapat dibatasi. Tidak boleh kita mengatakan bahwa hasil dari perkalian dua dengan dua adalah empat (2 x 2 = 4) kecuali dalam kasus tertentu.
Orang-orang yang berpendapat bahwa hukum-hukum harus mengikuti syarat-syarat dan kriteria-kriteria adalahorang-orang yang berpendapat tentang kehujahan akal dalam istinbath (deduksi) hukum-hukum syariat dalam bab al-Mulazamat al'Aqliyyah (rasional inherent) dan sebagainya. AkAl yang menetapkan bahwa hukum-hukum mengikuti kemaslahatan tidak membedakan antara masalah-masalah peribadatan dan masalah-masalah lain, antara praktik ibadah dan ushul seraya mengatakan bahwa Pembuat syariat itu adalah Yang Mahabijaksana. Zat Yang Mahabijaksana terpelihara tindakan-Nya dari kesia-siaan. Maka hukum-hukum dan syariat-syariat-Nya mengandung tujuan-tujuan untuk kepentingan hamba-hamba-Nya -dan kemaslahatan bagi orang-orang yang mengamalkannya dengan benar.
II. Tujuan Utama Pernikahan: Membina Keluarga
Doktor itu mengatakan bahwa pernikahan dalam Islam disyariatkan bagi tujuan-tujuan utama yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an secara jelas. Semuanya kembali pada pembinaan keluarga utama yang merupakan cikal bakal masyarakat Islam. Dengan sifat-sifat dasarnya herupa kesucian diri, kesucian hadan, kesetiaan, kemenangan, dan solidaritas sosial-kemudian untuk menegaskan prinsip tersehut ia berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Selanjutnya ia mengatakan, "Ketika Allah mengaitkan pernikahan dengan naluri seksual, hal itu tidak semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi dorongan seksual. Melainkan yang Dia maksudkan adalah mengarah kepada terwujudnya tujuan tersebut heserta sifat-sifat dasarnya berupa pembentukan keluarga yang hukum-hukumnya telah ditetapkan secara terperinci dalam Al-Qur'an." Oleh karena itu, pernikahan mut'ah yang luput dari tujuan reproduksi dan pembinaan keluarga menggugurkan tujuan yang dimaksudkan Pembuat syariat dari setiap prinsip disyariatkannya pernikahan itu.
Berikut ini catatan atas ungkapan di atas. Pertama:Profesor ini telah mencampuradukkan 'illat pensyariatan dengan hikmahnya. 'lllat adalah kutub tempat berputamya suatu hukum. Hukum itu berlaku jika ada 'illat. Sebaliknya, hukum itu gugur jika tidak ada 'illat Ini berbeda dengan hikrnah. Kadang-kadang hukum lebih luas daripada hikrnah. Berikut ini penjelasannya.
Pembuat syariat mengatakan, "Jauhilah minuman yang memabukkan." Mabuk merupakan'illat bagi wajibnya menjauhi minuman tersebut dengan bukti adanya keterkaitan di antara keduanya. Selama cairan itu memabukkan, maka hukum itu tetap berlaku. Tetapi, jika cairan itu beruhah menjadi cuka, maka hukum itu pun menjadi gugur.
Dalam ayat lain, Allah swt herfirman, "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah di dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allahdan hari akhirat" (QS. al-Baqarah [2]: 228)
Kandungan ayat ini mengungkapkan bahwa "menahan diri" adalah untuk mengetahui keadaan rahim, apakah mengandung anak atau tidak. Seperti telah diketahui, ini adalah hikrnah dari hukum tersebut, bukan 'illat-nya. Oleh karena itu, kami memandang bahwa hukum itu lebih luas daripada hikmah. Dalilnya, para fukaha menetapkan hukum wajibnya "menahan diri" untuk mengetahui ada atau tidak adanya kehamilan di dalam rahim perempuan itu. Sepeti itu pula dalam kasus-kasus berikut.
I. Apabila perempuan itu mandul, tidak melahirkan anak.
2. Apabila laki-laki yang mandul.
3. Apabila suami meninggalkannya dalam jangka waktu yang lama, misalnya enam bulan atau lebih, dan kita tahu bahwa tidak ada kehamilan dalam rahimnya.
4. Apabila melalui pemeriksaan medis, diketahui tidak ada kehamilan dalam rahimnya.
Ayat itu adalah ayat hukum walaupun tidak ada hikmah dari hukum tersebut. Hal ini tidak menafikan apa yang telah kita sepakati bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan. Sebab, yang dimaksud adalah kriteria-kriteria untuk kebanyakan kasus, tidak untuk seluruh kasus.
Apabila Anda telah mengetahui perbedaan antara hikmah dan 'illat, Anda akan mengetahui bahwa profesor ini telah mencampuradukkan antara 'illat dan hikmah. Maka pembinaan keluarga, reproduksi, dan solidaritas sosial semuanya muncul dari sisi hukum dengan dalil bahwa Pembuat syariat juga menetapkan hukum sahnya pernikahan walaupun dilakukan bukan untuk tujuan-tujuan di atas, seperti dalam kasus-kasus berikut.
I. Sah pernikahan laki-laki yang mandul dengan perempuan yang subur.
2. Sah pernikahan perempuan yang mandul dengan laki-laki yang subur.
3. Sah pernikahan perempuan yang sudah mengalami menopous.
4. Sah pernikahan anak di bawah umur. .
5. Sah pernikahan seorang pemuda dengan seorang pemudi dengan niat tidak akan memiliki anak sepanjang hidupnya.
Apa, menurut profesor ini, boleh membatalkan pernikahan-pernikahan seperti ini dengan alasan tidak bertujuan untuk membina keluarga?
Padahal sudah jelas, kebanyakan pasangan muda yang menikah melalui pernikahan permanen tidak memiliki tujuan kecuali untuk memenuhi dorongan seksual dan memperoleh kenikmatan melalui cara yang halal. Mereka tidak berpikir untuk menghasilkan keturunan, walaupun akhimya hal itu diperoleh juga.
Kedua, profesor itu harus membedakan antara orang yang menikah mut'ah untuk tujuan memperoleh keturunan dan membina keluarga beserta sifat-sifat dasarnya berupa kesucian diri, kesucian badan, kesetiaan, kemenangan, dan solidaritas sosial dan orang yang menikah untuk memenuhi dorongan seksual semata melalui cara ini.
Adapun, mengapa ditempuh pernikahan sementara atau mut'ah? Karena adanya beberapa kemudahan dalam pernikahan mut'ah yang tidak diperoleh dalam pernikahan permanen.
Profesor itu, seperti kebanyakan orang dari kalangan Ahlusunah yang menulis tentang pernikahan mut'ah, menganggap perempuan yang dinikahi dengan pernikahan mut'ah seperti para pelacur yang selalu membuka pintu rumahnya. Setiap hari, seorang laki-laki menemuinya, dan pada hari itu ia berkumpul dengannya, kemudian laki-laki itu meninggalkannya. Kemudian datang laki-laki lain melakukan hal serupa. Kalau ini makna pernikahan mut'ah, maka Syi'ah Imamiyah serta para imam, para rasul, dan kitab-kitabnya berlepas diri dari syariat yang serupa dengan perzinaan tetapi berbeda nama ini. Akan tetapi, pernikahan mut'ah itu berbeda 100 persen dari pernikahan tersebut. Kadang-kadang ada perempuan yang ditinggal mati suaminya, sementara ia masih muda dan cantik; di sisi lain, ada laki-laki yang tidak mampu menempuh pernikahan permanen karena kendala-kendala sosial yang menghadangnya. Bersamaan dengan itu, ia mencari perempuan seperti perempuan tadi, lalu menikahinya dengan beberapa tujuan: pertama, menghindari perzinaan, dan kedua, membina keluarga dengan sifat-sifat yang dimiliki perempuan tersebut.
Sebenamya, pikiran yang tersimpan dalam benak penulis itu dan orang-orang lain tentang pernikahan mut'ah adalah menganggap pernikahan tersebut sama dengan pelacuran di rumah-rumah bordil dan tempat-tempat lainnya. Padahal, tidak mungkin pernikahan seperti itu ditetapkan dengan syariat. Selain itu, pernikahan mut’ah yang disyariatkan tidak seperti itu. Kadangkadang pernikahan mut'ah itu berlangsung hanya sehari semalam. Maka dalam pernikahan mut'ah itu ditetapkan syarat-syarat seperti yang berlaku dalam pernikahan permanen. Namun, pernikahan mut’ah berbeda dengan pernikahan permanen dalam dua hal, yaitu dalam talak dan pemberian nafkah. Sedangkan dalam pewarisan, mereka saling mewariskan. Hal semacam itu menuntut tujuan-tujuan yang dituntut dalam pernikahan pada umumnya. Kami telah menjelaskan hakikat pernikahan mut'ah dalam pembahasan di atas.
Sebenamya, tujuan utama dalam setiap kasus yang diberi keringanan oleh Pembuat syariat dalam hal hubungan kelamin dengan segala bagian-bagiannya hingga pemilikan budak dan kehalalan mencampurinya adalah untuk; memelihara diri agar tidak jatuh ke dalam perzinaan dan pelacuran. Adapun tujuantujuan lain berupa pembinaan keluarga dan solidaritas sosial hanyalah tujuan-tujuan sekunder sebagai suatu konsekuensi baik dimaksudkan oleh suami-istri itu maupun tidak.
Tujuan utama itu terdapat dalam pernikahan mut'ah. Tujuan disyariatkannya pernikahan mut'ah itu adalah untuk memelihara diri dari perbuatan haram bagi orang yang tidak mampu menempuh pernikahan permanen. Karena itu, telah tersebar hadis yang diriwayatkan dari Ibn ' Abbas: "Semoga Allah merahmati 'Umar. Pernikahan mut'ah itu adalah rahmat dari Allah yang diberikan kepada umat Muhammad. Kalau ia tidak melarangnya, niscaya tidak akan jatuh ke dalam perzinaan kecuali orang yang celaka."

abu tholib seorang mukmin

Segala Puja dan Puji bagi Allah, sebanyak tetesan air hujan, sebanyak butiran biji-bijian, sebanyak makhluk-Nya dilangit, dibumi dan diantara keduanya.
Segala Puja dan Puji yang banyak dan tak berkesudahan untuk Allah, meskipun puja segala pemuji selalu kurang dari sewajarnya.
Segala Puja dan Puji untuk Allah seagung pujian-Nya terhadap diri-Nya.
Shalawat dan Salam yang tiada pernah terputus dan tiada pernah terhenti terus-menerus, sambung-menyambung sampai ke akhir zaman untuk Nabi yang dicintai dan dikasihi oleh ruh, jiwa dan jasad kami, Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya, juga untuk keluarganya yang telah disucikan dari segala noda dan nista, serta para sahabat yang berjihad bersamanya dan setia padanya sepanjang hayatnya.
Dalam berbagai kesempatan alfagir hamba Allah penulis risalah ini sering mendengar dalam khutbah-khutbah, diskusi-diskusi, maupun dialog-dialog bahwa Abu Thalib paman tercinta Rasulullah SAAW dikatakan kafir. Beberapa rekan sering bertanya tentang masalah ini, akhirnya alfagir harapkan risalah ini sebagai jawaban atas semuanya itu, sebaga pembelaan terhadap Abu Thalib dan terhadap Nabi SAAW, semoga beliau SAAW meridhainya Amin.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya (mengutuknya) didunia dan diakhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan (Q.S. 33:57)”.
“Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih(Q.S. 9:61)”
Diriwayatkan dari Al-Thabrani dan AL- Thabrani dan Al-Baihaqi, bahwa anak permpuan Abu Lahab (saudara sepupu Nabi saaw ) yang bernama Subai’ah yang telah masuk Islam datang ke Madinah sebagai salah seorang Muhajirin, seseorang berkata kepadanya : “Tidak cukup hijrahmu ini kesini, sedangkan kamu anak perempuan kayu bakar neraka” (menunjuk surat Allahab). Maka ia sakait mendengar kat-kat tersebut dan melaporkannya pada Rasulullah saaw. Demi mendengar laporan semacam itu beliau saaw jadi murka, kemudian beliau naik mimbar dan bersabda :
“Apa urusan suatu kaum menyakitiku, baik dalam nasabku (silsilahku) maupun sanak kerabatku. Barang siapa menyakiti nasabku serta sanak kerabatku, maka telah menyakitiku dan barang siapa yang menyakitiku, maka dia menyakiti Allah SWT.
Sa’ad bin Manshur dalam kitab Sunannya meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair tentang Firman Allah SWT (Q.S; 42,23) : “Katakanlah (wahai Muhammad): Aku tidak meinta dari kalian sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang terhadap keluarga (Ahlul Bait)”.
Ia berkatyang dimaksud keluarga dalam ayat itu adalah keluarga Rasulullah saaw, (Hadits ini disebutkan juga oleh Al-Muhib Al-Thabari dalam Dzkhair Al-Uqbah ha.9 Ia mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Al-Sirri, dikutib pula oleh Al-Imam Al-Hafid Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar Al-Suyuthi dalam kitab Ihyaul Maiyit Bifadhailil Ahlil Bait hadits nomer 1 dan dalam kitab tafsir Al-Dur Al-Mantsur ketika menafsirkan ayat Al-Mawaddah :42,43)
Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya Juz 4 hal.210 hadits no.177 meriwayatkan:
Abbas paman Nabi SAAW masuk menemui rasulullah saaw, lalu berkata: “Wahai rasulullah, sesungguhnya kita (bani hasyim) keluar dan melihat orang-orang quraisy berbincang-bincang lalu jika mereka melihat kita mereka diam”. Mendengar hal itu rasulullah saaw marah dan meneteskan airmata kemudian bersabda : “Demi Allah tiada masuk keimanan ke hati seseorang sehingga mereka mencintai kalian (keluarga nabi saaw) karena Allah dan demi hubungan keluarga denganku”. (hadits serupa diriwayatkan pula oleh Al-Turmudzi, Al-Suyuthi, Al-Muttaqi Al-Hindi, Al-Nasa’i, Al-Hakim dan Al-Tabrizi).
Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri ia berkata bahwa Rasulullah saaw bersabda: “Barang siapa yang membenci kami Ahlul Bayt (Nabi dan keluarganya) maka ia adalah munafiq”. (At-Athabrani dalam Dzakair, Ahmad dalam Al-Manaqib, Al-Syuthi dalam Al-Dur Al-Mantsur dan dalam Ihyaul Mayyit).
Al-Thabrani dalam kitab Al-Awsath dari Ibnu Umar, ia berkata: Akhir ucapan rasulullah saaw sebelum wafat adalah: “Perlakukan aku sepeninggalku dengan bersikap baik kepada Ahlul Baitku.” (Ibnu Hajar dalam Al-Shawaiq). Al-Khatib dalam tarikhnya meriwayatkan dari Ali bersabda : “Syafa’at (pertolongan diakhirat kelak) ku (hanya) teruntuk orang yang mencintai Ahlul Baytku. (Imam Jalaluddin Al-Syuthi dalam Ihyaul Maiyit) .
Al-Dailami meriwayatkan dari Abu Sa’id ia berkata bahwa Rasulullah saaw bersabda :” Keras kemurkaan Allah terhadap orang yang menggaguku dengan menggangu itrahku”. (Al-Suyuthi dalam Ihyaul Maiyit, dikutib juga oleh Al-Manawi dalam Faidh Al-Qadir, dan juga oleh Abu Nu’aim).
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Imam Ali a.s. bahwasanya Rasulullah bersabda : “Barang siapa yang menyakiti seujung rambut dariku maka ia telahmenyakitiku dan barang siapa yang menyakitiku berarti ia telah menyakiti Allah SWT”. Dengan demikian jelaslah bahwa siapa yang menyakiti Abu Thalib berarti menyakiti Rasulullah beserta cucu-cucu beliau pada setiap masa. Rasulullah bersabda :” Janganlah kalian menyakiti orang yang masih hidup dengan mencela orang yang telah mati”.
Sebenarnya pandangan tentang kafirnya Abu Thalib adalah hasil rekayasa politik Bany Umaiyah di bawah kendali Abu Sufyan seseorang yang memusuhi Nabi saaw sepanjang hidupnya, memeluk Islam karena terpaksa dalam pembebasan Makkah, kemudian dilanjutkan oleh putranya Muawiyah, seorang yang diberi gelar oleh Nabi saaw sebagai kelompok angkara murka, yang neracuni cucu Nabi saaw, Imam Hasan ibn Ali a.s. Dalam kitab Wafiyat Al-A’yan Ibnu Khalliqan menuturkan cerit Imam Nasa-i (penyusun kitab hadits sunna Al-Nasa-i), bahwasanya sewaktu Nasa-i memasuki kota Damaskus, ia didesak orang untuk meriwayatkan keutamaan Muawiyah, kata Nasa-i: “ Aku tidak menemukan keutamaan Muawiyah kecuali sabda Rasul tentang dirinya – semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya”. Selanjutnya dilanjutkan oleh Yazid anak Muawiyah si pembunuh Husein ibn Ali cucu Nabi Muhammad saaw di padang Karbala bersama 72 keluarga dan sahabatnya. Muawiyah yang sebagian Ulama dikatagorikan sebagai sahabat Nabi saaw , telah memerintahkan pelaknatan terhadap Imam Ali bin Abi Thalib hampir 70.000 mimbar umat Islam dan dilanjutkan oleh anak cucu-cucuBany Umaiyah selam 90 tahun sampai masa Umar bin Abdul Azizi. Ibnu Abil Hadid menyebutkan Muawiyah membentuk sebuah lembaga yan bertugas mencetak hadits-hadits palsu dalam berbagai segi terutama yang menyangkut keluarga Nabi saaw, lembaga tersebut beranggotakan beberapa orang sahabat dan Tabi’in (sahabtnya sahabat) diantaranya “Amr ibn Al-ash, Mughirah ibn Syu’bah dan Urwah ibn Zubair).
Sebagai contoh Ibnu Abil Hadid menebutkan hadits produksi lembaga tersebut :
“Diriwayatkan oleh Al-Zuhri bahwa : Urwah ibn Zubair menyampaikan sebuah hadits dari Aisyah bibinya ia berkata : Ketika aku bersama Nabi saaw, maka datanglah Abbas (paman Nabi saaw) dan Ali bin Abi Thalib dan Nabi saaw berkata padaku :”Wahai Aisyah kedua orang itu akan mati tidak atas dasar agamaku (kafir)”.
Inil adalah kebohongan besar tak mungkin Rasul saaw bersabda seperti itu yang benar Rasul saaw bersabda seprti yang termaktub dalam kitab : Ahlul Bayt wa Huququhum hal.123, disitu diterangkan: Dari Jami’ ibn Umar seorang wanita bertanya pada Aisyah tentang Imam Ali, lalu Aisyah menjawab : “Anda bertanya kepadaku tentang seorang yang demi Allah SWT, aku sendiri belum pernah mengetahui ada orang yang paling dicintai Rasulullah saaw selin Ali,dan di bumi ini tidak ada wanita yang paling dicintai putri Nabi saaw, yakni ( Sayyidah Fatimah Az-Zahra a.s istri Imam Ali a.s). Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak, Al-Suyuthi dalam kitab Al-Jami Ash-Shaghir dan juga Al-Thabrani dalam kitab Al-Kabir dari Ibnu Abbas, Rasulullah saaw bersabda :” Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya, Maka barangsiapa ingin mendapat Ilmu, hendaknya ia mendatangi pintunya”. Imam Ahmad bin Muhammad Ash-Shadiq Al-Maghribi berdasarkan hadits ini telah membuat kitab khusus yang diberi judul :”Fathul Malik al’Aliy bishihati hadits Babul Madinatil Ilmi Ali” yang membuktikan ke shahihan hadits tersebut.
Tidak mungkin kami menyebutkan hadits-hadits keutamaan Imam Ali satu persatu karena jumlahnya sangat banyak , cukuplah yang dikatakan Imam Ahmad (pendiri mazhab sunni Hambali) seperti yang diriwayatkan oleh putranya Abdullah ibn Ahmad sbb: “Tidak ada seorang pun diantara para sahabat yang memiliki Fadha’il (keutamaan) dengan sanad-sanad yang shahih seperti Ali bin Abi Thalib”. Bany Umaiyah tidak cukup dengan menciptakan hadits-hadits palsu bahkan mengadakan program kekerasan bagi siap yang berani mengungkap hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan keluarga Nabi saaw. Mereka meracuni dan mempengaruhi pikiran umat Islam bahwa orang yang mengungkap keutamaan keluarga Nabi saaw adalah para pengacau, musuh Islam dan mereka adalah orang-orang zindiq.
Maka tidak sedikit Ulama’ Islam yang menjadi korban karena mereka berani secara tegas menyebarkan hadits-hadits tersebut. Dimana Bany Umaiyah kemudian dimasa Bany Abbasiyah, Keluarga Nabi saaw dan anak, cucunya terus menerus menjadi korban intimidasi yang tidak henti-hentinya, mengalami pengejaran, pembunuhan, seperti pembantaian Karbala, pembantaian Imam Ali Zainal Abidin, Annafsuzzakia , peracuni Imam Al-Baqir, Ash-shodiq, Al-Khadzim, Ar-Ridha dll, sampai seorang sejarawan terkenal Abul Faraj yang diberi judul “Maqatilut – Thalabiyin”.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa mereka berlaku demikian itu dan apa yang mendasarinya?, jawabannya tiada lain hanyalah kaena dengki dan irihati terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah kepada keluarga Nabi saaw. “Ataukah mereka dengki kepada (sebagian ) manusia (=Muhammad dan keluarganya) lantaran karunia-karunia yang Allah SWT, telah limpahkan kepadanya...?” (QS; 4,54) Al-Hafid Ibnu Hajar dalam kitabnya As-Sawaiq meriwayatkan dari Ibnu Mughazili Asy-Syafi’i bahwasanya Imam Muhammad Al-Bagir berkata: “Kamilah Ahlul Bayt adalah orang yang kepada mereka sebagian manusia menunjukkan rasa iri dan dengki”.
Para pengutbah dan penceramah tentunya telah mengetahui semua hadits-hadits yang mengkafirkan Abu Thalib yang jumlahnya kurang lebih 9 hadits, oleh karena itu hamba AllahSWT tidak akan menyebutkan lagi disini. Dengan menggunakan Ilmu hadits dan memeriksa Rijal (orang-orang yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut. Tidak mungkin merinci komentar para ahli Jarh (kritik hadits) disini, sebagai contoh ; salah seorang perawi hadits dari kalangan sahabat bernama Abi Hurairah, disepakati oleh para ahli sejarah bahwa dia masuk Islam pada perang Khaibar, tahun ke-7 Hijriyah, sedangkan Abu Thalib meninggal satu dua tahun sebelum Hijrah. Apakah dia berhadits ?.
Anehnya beberapa periwayat hadits tersebut menyebutkan beberapa Asbabul Nuzul (sebab-sebab turunya ayat dalam Al-Quran) dihubungkan untuk mengkafirkan Abu Thalib, sebagai contoh; Surah Al-Tawbah 113 dan Al-Qashash 56, surah Al-Tawbah ayat 113 menurut para ahli tafsir termaasuk surah yang terakhir turun di Madinah, sedang Al-Qashash ayat;56 turun pada waktu perang Uhud (sesudah Hijrah), jadi baik antara kedua surah itu ada jarak yang bertahun-tahun juga antara kedua surah tersebut dengan kewafatan Abu Thalib ada jarak yang bertahun-tahun pula. Sekarang kita telah menolak hadits yang mengkafirkan Abu Thalib dan akan mengetengahkan hadits-hadits yang menyebut beliau (semoga Allah meridhainya) sebagai seorang muslim, namun sebelumnya akan kami ketengahkan terlebih dahulu siapakah Abu Thalib itu?
Beliau Abu Thalib nama aslinya adalah Abdu Manaf, sedang nama Abu Thalib adalah nama Kauniyah (panggilan) yang berasal dari putra pertamanya yaitu Thalib, Abu berarti Bapak. Abu Thalib adalah paman dan ayah asuh Rasulullah saaw, dia membela Nabi saaw dengan jiwa raganya. Ketika Nabi saaw berdakwah dan mendapat rintangan Abu Thalib dengan tegar berkata: “Kalian tidak akan dapat menyentuh Muhammad sebelum kalian menguburkanku”. Ketika Nabi saaw dan pengikutnya di baikot di sebuah lembah, Abu Thalib mendampingi Nabi saaw dengan setia. Ketika dia melihat Ali shalat di belakang Rasulullah saaw. Ketika mau meninggal dunia berwasiat kepada keluarganya untuk selalu berada di belakang Nabi saaw dan membelanya untuk menenangkan dakwahnya.
Beliau telah menerima amanat dari ayahnya Abdul Mutthalib untuk mengasuh Nabi saaw dan telah dilaksanakan amanat tersebut. Nabi saaw adalah sebaik-baik asuhan dan Abu Thalib adalah sebaik-baik pengasuh. Beliau mengetahu akan kenaibian Muhammad saaw jauh sebelum Nabi saaw diutus oleh Allah SWT, sebagai Rasul di atas dunia ini. Dia menyebutkan hal tersebut ketika berpidato dalam pernikahan Nabi saaw dengan Sayyidah Khadijah a.s. Abu Thalib berkata : “ Segala Puji bagi Allah yang telah menjadikan kita sekalian sebagian anak cucu Ibrohim dan Ismail, menjadikan kita sekalian berpangkal dari Bany Ma’ad dan Mudhar menjadikan kita penanggung jawab rumah-Nya (ka’bah) sebagai tempat haji serta tanah haram yang permai, menjadikan kita semua sebagai pemimpin-pemimpin manusia. Kemudian ketahuilah bahwa kemponakan saya ini adalah Muhammad ibn Abdullah yang tidak bisa dibandingkan dengan laki-laki manapun kecuali ia lebih tinggi kemuliaannya, keutamaan dan akalnya. Dia (Muhammad ), demi Allah setelah ini akan datang dengan sesuatu kabar besar dan akan mengahadapi tantangan yang berat”.
Kata-kata beliau ini, adalah hasil kesimpulan apa yang beliau lihat tentang pribadi Nabi saaw sejak kecil, atau sebuah ilham dan dari kaca mata sufi adalah sesuatu yang diperoleh dari Ilmu Mukasyafah atau beliau seorang Kasyaf.
Pada saat Abu Thalib berekspidisi ke Syiria (Syam), pada waktu itu Nabi saaw masih berusia 9 tahun dan diajak oleh Abu Thalib, ketika itu bertemu dengan seorang rahib Nasrani bernama Buhairah yang mengetahui tanda-tanda kenabian yang terdapat pada Nabi saaw dan memberitahukan pada Abu Thalib kemudian menyuruhnya membawa pulang kembali ke Mekkah karena takut akan gangguan orang Yahudi.Maka Abu Thalib tanpa melihat resiko perdagangannya dengan serta merta membawa Nabi saaw pulang ke Mekkah.
Jika Abu Thalib hendak makan bersama keluarganya, beliau selalu berkata: Tetaplah kalian menunggu hingga Muhammad datang, kemudian Nabi saaw datang serta makan bersama mereka hingga mereka menjadi kenyang, berbeda seandainya mereka makan tanpa keikut sertaan Nabi saaw, biasa hidangannya adlah susu, maka Nabi saaw dipersilahkan lebih dahulu, baru bergiliran mereka. Abu Thalib berkata kepada Nabi saaw: “Sesungguhnya Engkau adalah orang yang di berkati Tuhan”.
Setiap Nabi akan tidur Abu Thalib membentangkan selimutnya dimana beliau saaw biasa tidur. Beberapa saat setelah beliau saaw tertidur, dia membangunkan beliau saaw lagi dan kemudian memerintahkan sebagian ank-anaknya untuk tidur ditempat Rasulullah saaw tidur, sementara Rasulullah dibentangkan selimut ditempat lain agar Nabi saaw tidur disana. Semua ini dilakukkan oleh Abu Thalib demi keselamatan Nabi saaw.
Ya Allah, Engkaulah yang dituduh oleh sebagian umat Nabi-Mu , tidak mau memberi hidayah Islam kepada seseorang yang mencintai Nabi saaw yang tiada melebihinya dan Nabi saaw mencintainya dengan teramat sangat.
Ya Allah, sungguh prasangkaku baik kepada-Mu, tak mungkin engkau tidak memberi iman kepadanya. Ya Allah Yang Maha Pemurah dan Engkau terjauh dari perasangka buruk. Ya Allah, apakah mungkin umat Nabi-Mu akan menerima Syafa’at dari padanya, sedang lidah-lidah mereka tiada kering dari mengkafirkan paman kesayangannya. Ya Allah Engkau adalah Tuhan Yang Maha Adil dan Engkau akan mengukum siapa saja yang menyakiti Nabi-Mu dan keluarganya. Dalam salah satu sya’irnya Imam Syafi’i berkata : Wahai Keluarga Rasulullah
Kecintaan kepadamu
Allah wajibkan atas kami
Dalam Al-Quran yang diturunkan
Cukuplah tanda kebesaranmu
Tidak sah shalat tanpa shalawat padamu
(maksudnya : Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa ali Muahammad)
Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) dalam sya’irnya:
Kecintaan Yahudi kepada keluarga Musa nyata
Dan bantuan mereka kepada keturunan saudaranya jelas
Pemimpin mereka dari keturunan Harun lebih utama
Kepadanya mereka mengikut dan bagi setiap kaum ada penuntun
Begitu juga Nasrani sangat memuliakan dengan penuh cinta
Kepada Al-Masih dengan menuju perbuatan kebajikan
Namun jika seorang muslim membantu keluaga Ahmad (Muhammad)
Maka mereka bunuh dan mereka sebut kafir
Inilah penyakit yang sulit disembuhkan, yang telah menyesatkan akal
Orang-oramg kota dan orang-orang desa, mereka tidak menjaga
Hak Muhammad dalam urusan keluarganya dan Allah Maha Menyaksikan.
Dalam Sya’irnya Imam Zamakhsyari bertutur:
Beruntung anjing karena mencintai Ashabul kahfi
Mana mungkin aku celaka karena mencintai keluarga Nabi saaw
Abu Hasyim Isma’il bin Muhammad Al-Humairi dalam salah satu sya’i permohonan syafa’at pada nabi saaw:
Salam sejahtera kepada keluarga dan kerabat Rasul
Ketika burung-burung merpati beterbangan
Bukankah mereka itu kumpulan bintang gemerlapan dilangit
Petunjuk-petunjuk agung tak diragukan
Dengan mereka itulah aku disurga, aku bercengkrama
Mereka itu adalah lima tetanggaku, Salam sejahtera.
Kini tibalah saatnya untuk kami ketengahkan hadits-hadits tentang Mukminnya Abu Thalib, namun akan kami kutip sebagian saja.
Dari Ibnu Adi yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik, ia berkata; “Pada suatu saat Abu Thalib sakit dan Rasulullah menjenguknya, maka ia berkata; “Wahai anak sudaraku, berdo’alah kamu kepada Allah agar ia berkenan menyembuhkan sakitku ini”, dan Rasulullah pun berdo’a: Ya Allah, ...sembuhkanlah paman hamba”, maka seketika itu juga dia berdiri dan sembuh seakan dia lepas dari belenggu”. Apakah mungkin Rasulullah berdoa untuk orang yang kafir padanya ?, apakah mungkin orang kafir minta do’a kepada Rasulullah , apakah mungkin orang yang menyaksikan mukjizat yang demikian lantas tidak mau beriman ?. Perkaranya kembali pada logika orang yang waras.
“Diriwayatkan oleh Bukhari dari Aqil bin Abu Thalib, diterangkan bahwa orang-orang Quraisy berkata kepada Abu Thalib:”Sesungguhnya anak saudramu ini telah menyakiti kami”, maka Abu Thalib berkata kepada Nabi Muhammad saaw :”Sesungguhnya mereka Bany pamanmu,menuduh bahwa kamu menyakiti mereka”. Beliau menjawab : “ Jika seandainya kalian (wahai kaum Quraisy) meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku untuk aku tinggalkan perkara ini, sehingga Allah menampakkannya atau aku hancur karenanya niscaya aku tidak akan meninggalkannya sama sekali”. Kemudian kedua mata beliau mencucurkan air mata karena menangis, maka berkatalah Abu Thalib kepada beliau saaw:”Hai anak saudaraku, katakalah apa yang kamu suka, demi Allah aku tidak akan pernah menyerahkanmu kepada mereka selamanya”. Dia juga berkata kepada orang-orang Quraisy, “Demi Allah, anak saudaraku tidak bohong sama sekali”.
Kami bertanya apakah kata-kata dan pembelaan demikian ini dapat dilakukan oleh orang kafir, yang agamanya sendiri dicela habis-habisan oleh Nabi saaw ? Kalau yang demikian ini dikatakan tidak beriman, lalu yang bagaimana yang beriman itu ? apkah yang KTP ?
Dari Al-Khatib Al-Baghdadi dari Imam Ja’far Ash-Shadiq yang sanadnya sampai pada Imam Ali, berkata aku mendengar Abu Thalib berkata: Telah bersabda kepadaku, dan dia demi Allah adalah orang yang paling jujur, Abu Thalib berkata selanjutnya: “Aku bertanya kepada Muhammad, Hai Muhammad, dengan apa kamu diutus (Allah) ?” beliau saaw menjawab : “Dengan silaturrahmi, mendirikan shalat, serta mengeluarkan zakat”.
Al-Khatib Al-Baghdadi adalah seorang ulama besar dan beliau menerima hadits yang diriwayatkan oleh Abi Thalib, jika Abu Thalib bukan mukmin maka tentu haditsnya tidak akan diterima, demikian juga Imam Ali dan Imam Ash-Shadiq dll. Penelaahan lebih jauh tentang hadis ini kita akan menemukan bahwa beliau mukmin.
Dari Al-Khitab, yang bersambung sanadnya, pada Abi Rafik maula ummu Hanik binti Abi Thalib bahwasannya ia mendengar Abu Thalib berkata :”Telah berbicara kepadaku Muhammad anak saudaraku, bahwanya Allah memerintahkannya agar menyambung tali silaturrahmi, menyembah Allah serta tidak boleh menyembah seseorang selain-Nya”.(tidak menyekutukan-Nya), kemudian Abu Thalib berkata: “Dan Aku Abu Thalib berkata pula: “Aku mendengar anak saudaraku berkata:”Bersyukurlah, tentu kau akan dilimpahi rizki dan janganlah kufur, niscaya kau akan disiksa”. Apakah ada tanda-tanda beliau orang kafir dalam hadits di atas?, wahai saudaraku anda dikaruniai kemauan berpikir pergunakanlah, jangan seperti domba yang digiring oleh gembala. 14 Abad umat Muhammad telah ditipu oleh rekayasa Bany Umaiyah, kapan mereka mampu mengakhirinya. Ketahuilah lebih 13 abad yang lampau Bany Umaiyah telah ditelan perut bumi akibat kedengkiannya kepada keluarga Nabi, namun fitrahnya tidak habis-habisnya.
Dari Ibnu Sa’ad Al-Khatib dan Ibnu Asakir dari Amru ibn Sa’id, bahwasanya Abu Thalib berkata : “Suatu saat berada dalam perjalanan bersama anak saudaraku (Muhammad), kemudian aku merasa haus dan aku beritahukan kepadnya serta ketika itu aku tidka melihat sesuatu bersamanya, Abu Thalib selanjutnya berkata, kemudian dia (Muhammad) membengkokkan pangkal pahanya dan menginjakkan tumitnya diatas bumi, maka tiba-tiba memancarlah air dan ia berkata kepadku:”Minumlah wahai pamanku !”, maka aku kemudian minum”.
Ini adalah mukjizat Nabi saaw dan disaksikan oleh Abu Thalib, yang meminum air mukjizat, adakah orang kafir dapat meminum air Alkautsar ?. Berkata Al-Imam Al-Arifbillah Al-Alamah Assayyid Muhammad ibn Rasul Al-Barzanji:”Jika Abu Thalib tidak bertauhid kepada Allah, maka Allah tidak akan memberikannya rizki dengan air yang memancar untuk Nabi saaw yang air tersebut lebih utama dengan air Al-Kautsar serta lebih mulia dari air zamzam.
Dari Ibnu Sa’id yang diriwayatkan dari Abdillah Ibn Shaghir Al-Udzri bahwasanya Abu Thalib ketika menjelang ajalnya dia memanggil Bany Abdul Mutthalib seraya berkata:”Tidak pernah akan putus-putusnya kalian dengan kebaikan yang kalian dengar dari Muhammad dan kalian mengikuti perintahnya, maka dari itu ikutilah kalian, serta bantulah dia tentu kalian akan mendapat petunjuk”. Jauh sekali anggapan mereka, dia tahu bahwa sesungguhnya petunjuk itu di dalam mengikuti beliau saaw. Dia menyuruh orang lain agar mengikutinya, apakah mungkin dia sendiri menginggalkannya?. Sekali lagi hanya logika yang waras yang bisa menentukannya dan ma’af bukan domba sang gembala.
Dari Al-Hafidz (si penghafal lebih dari 100.000 hadits) Ibn Hajar dari Ali Ibn Abi Thalib a.s bahwasanya ketika Ali memeluk Islam, Abu Thalib berkata kepadanya:”Teteplah kau bersama anak pamanmu !”. Pertanyaan apa yang bisa ditanyakan terhadap seorang ayah yang menyuruh anaknya memluk Islam, sedangkan dia sendirian dikatakn bukan Islam, adakah hal itu masuk akal ?.
Dari Al-Hafidz Ibn Hajar yang riwayatnya sampai pada Imran bin Husein, bahwasanya Abu Thalib : bershalatlah kamu bersama anak pamanmu, maka dia Ja’far melaksanakan shalat bersama Nabi Muahmmad saaw, seperti juga ia melksanakannya bersama Ali bin Abu Thalib. Sekiranya Abu Thalib tak percaya akan agama Muhammad, tentu dia tidak akan rela kedua putranya shalat bersama Nabi Muhammad saaw, sebab permusuhan yang timbul karena seorang penyair berkata:”Tiap permusuhan bisa diharapkan berakhirnya, kecuali permusuhan dengan yang lain dalam masalah agama”.
Dari Al-Hafidz Abu Nu’aim yang meriwayatkan sampai kepada Ibnu Abbas, bahwasannya ia berkata : “Abu Thalib adalah orang yang paling mencintai Nabi saaw, dengan kecintaan yang amat sangat (Hubban Syadidan) tidak pernah ia mencintai anak-anaknya melebihi kecintaannya kepada Nabi saaw. Oleh karena itu dia tidak tidur kecuali bersamanya (Rasulullah saaw).
Diriwayatkan dalam kitab Asna Al-Matalib fi najati Abu Thalib oleh Assayid Al-Almah Al-Arifbillah, Ahmad bin Sayyid Zaini Dahlan Mufti mazhab Syafi’i di Mekkah pada zamannya:”Sekarang orang-orang Quraisy dapat menyakitiku dengan sesuatu yang takpernah terjadi selama Abu Thalib hidup”. Tidaklah orang-orang Quraisy memperoleh sesuatu yang aku tidak senangi (menyakitiku) hingga Abu Thalib wafat”. Dan setelah beliau melihat orang-orang Quraisy berlomba-lomba untuk menyakitinya, beliau bersabda:” Hai pamanku, alangkah cepatnya apayang aku peroleh setelah engkau wafat”. Ketika Fatimah binti Asad (isteri Abi Thalib) wafat, Nabi saaw menyembahyangkannya, turun sendiri ke liang lahat, menyelimuti dengan baju beliau dan berbaring sejenak disamping jenazahnya, beberapa sahabat bertanya keheranan, maka Nabi saaw menjawab:” Tak seorangpun sesudah Abu Thalib yang kupatuhi selain dia (Fatimah binti Asad).
Abu Thalib dan Sayyidah Khadijah istri Nabi saaw, wafat dalam tahun yang sama, oleh karena itu tahun tersebut oleh Nabi saaw disebut Aamul Huzn dalam tahun dukacita. Jika Abu Thalib seorang kafir patutlah kematiannya disedihkan. Dan apakah patut Nabi bercinta mesrah dengan orang kafir, dengan berpandangan bahwa Abu Thalib kafir sama dengan menuduh Allah, menyerahkan pemeliharaan Nabi saaw, pada seorang kafir dan membiarkan berhubungan cinta-mencintai dan kasih-mengasihi yang teramat sangat padahal dalam Al-Quran disebutkan:”Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka(QS;48,29). Dan diayat yang lain Allah berfirman: “Kamu tidak akan mendpati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akherat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menetang Allah dan Rasul-Nya. Sekalipun orang itu bapak-bapak, atu anak-anak saudara-saudara atupun keluarga mereka”.(QS;58,29)
Seandainya kami tidak khawatir anda menjadi jemu, maka akan kami sebutkan hadits yang lainnya, kini untuk memperkuat argumentasi di atas akan kami ketengahkan disini sya’ir-sya’ir Abu Thalin:
Saya benar-benar tahu bahwa agama Muhammad adalah paling baiknya agama di dunia ini.
Di sya’ir yang lain beliau berkata: “Adakah kalian tidak tahu, bahwa kami telah mengikuti diri
Muahmmadsebagai Rasul seperti Musa yang telah dijelaskan pada kitab-kitab”.
Simaklah sya’ir beliau ini, bahwa beliau juga beriman pad Nabi-Nabi yang lain seperti Nabi Musa a.s, dan ketika Rahib Buhairah berkata padanya beliau juga menimani akan kenabian Isa a.s , sungguh Abu Thalib adalah orang ilmuan yang ahli kitab-kitab sebelumnya.
Dalam sya’ir yang lain: “Dan sesungguhnya kasih sayang dari seluruh hamba datang kepadanya (Muhammad). Dan tiada kebaikan dengan kasih sayang lebih dari apa yang telah Allah SWT khususkan kepadanya”.
“Demi Tuhan rumah (Ka’bah) ini, tidak kami akan serahkan Ahmad (Muhammad)kepada bencana dari terkaman masa dan malapetaka”.
“Mereka (kaum Quraisy) mencemarkan namanya untuk melemahkannya. Maka pemilik Arsy (Allah) adalah dipuji (Mahmud) sedangkan dia terpuji (Muhammad)”.
“Demi Allah, mereka tidak akan sampai kepadamu dengan kekuatannya. Hingga Aku terbaring diatas tanah”. Maka sampaikanlah urusanmu secara terang-terangan apa yang telah diperintahkan tanpa mengindahkan mereka. Dan berilah kabar gembira sehingga menyenangkan dirimu. Dan engkau mengajakku dan aku tahu bahwa engkau adalah jujur dan benar. Engkau benar dan aku mempercayai. Aku tahu bahwa agama Muhammad adalah paling baiknya agama di dunia ini”. Dan sebilah pedng meminta siraman air hujan dengan wajahnya, terhadap pertolongan anak yatim sebagai pencegahan dari muslim paceklik. Kehancuran jadi tersembunyi dari bany Hasyim (marganya Nabi saaw), maka mereka disisinya (Muhammad) tetap dalam bahgia dan keutamaan.
“Sepanjang umur aku telah tuangkan rasa cinta kepada Ahmad.
Dan aku menyayanginya dengan kasih sayang tak terputus.
Mereka sudah tahu bahwa anak yatim tidak berbohong.
Dan tidak pula berkata dengan ucapan yang bathil.
Maka siapakah sepertinya diantara manusia hai orang yang berfikir.
Jika dibanding pemimpinpun dia lebih unggul.
Lemah lembut, bijaksana, cerdik lagi tidak gagabah, suka santun serta tiada pernah lalai.
Ahmad bagi kami merupakan pangkal, yang memendekkan derajat yang berlebihan.
Dengan sabar aku mengurusnya, melindungi serta menepiskan darinya semua gangguan”.
Kiranya cukup, apa yang kami ketengahkan dari sya’ir-sya’ir Abu Thalib yang membktikan bahwa beliau adalah seorang mukmin dan telah menolong dan membela Nabi saaw, maka beliau termasuk orang-orang yang beruntung.
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Quran) mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS; 7;15)
Sesungguhnya Abu Thalib adalah orang yang telah mempercayainya, memuliakannya serta menolongnya, sehingga ia menentang orang-orang Quraisy. Dan ini telah disepakati oleh seluruh sejarahawan. Sebauah hadits Nabi saaw menyebutkan :”Saya (Nabi saaw) dan pengawal yatim, kedudukannya disisi Allah SWT bagaikan jari tengah dengan jari telunjuk”. Siapakah sebaik-baik yatim? Dan siapakah sebaik-baik pengasuh yatim itu?, Bukankah Abu Thalib mengasuh Nabi saaw dari usia 8 tahun sampai 51 tahun.
Dalam Tarikh Ya’qubi jilid II hal. 28 disebutkan :
“Ketika Rasul saaw diberi tahu tentang wafatnya Abu Thalib, beliau tampak sangat sedih, beliau datang menghampiri jenazah Abu Thalib dan mengusap-usap pipi kanannya 4 kali dan pipi kiri 3 kali. Kemudian beliauberucap :”Paman, engkau memlihara diriku sejak kecil, mengasuhkusebagai anak yatim dan membelaku disaat aku sudah besar. Karena aku, Allah SWT melimpahkan kebajikan bagimu”. Beliau lalu berjalan perlahan-lahan lalu berkata : ”Berkat silaturrahmimu Allah SWT melimpahkan kebajikan bagimu paman”.
Dalam buku Siratun Nabi saaw yang ditulis oleh Ibnu Hisyam, jilid I hal.252-253 disebutkan: Abu Thalibmeninggal dunia tanpa ada kafir Quraisy disekitarnya dan mengusapkan dua kalimat syahadat yang didengar oleh Abbas bin Abdul Mutthalib. Demikian pula dalam buku Abu Thalib mukmin Quraisy oleh Syeckh Abdullah al-Khanaizy diterangkan : bahwa Abu Thalib mengusapkan kalimat Syahadat diriwayatkan oleh Abu Bakar, yang dikutib oleh pengarang tersebut dari buku Sarah Nahjul balaghah III hal.312, Syekh Abthah hal.71nAl-Ghadir VII hal.370 & 401, Al-A’Yan XXXIX hal.136.
Abu Dzar Al-Ghifari seorang sahabat Nabi saaw yang sangat dicintai Nabi saaw bersumpah menyatakan, bahwa wafatnya Abu Thalib sebagai seorang mukmin (Al-Ghadir Vii hal.397).
Diriwayatkan dari Imam Ali Ar-Ridha dari ayahnya Imam Musa Al-Kadzim, riwaya ini bersambung sampai pada Imam Ali bin Abi Thalib dan beliau mendengar dari Nabi saaw, bahwa : “Bila tak percaya akan Imannya Abu Thalib maka tempatnya di neraka”. (An-Nahjul III hal.311, Al-Hujjah hal.16, Al-Ghadir VII hal.381 & 396, Mu’janul Qubur hal.189, Al-A’Yan XXXIX hal.136, As-Shawa’iq dll). Abbas berkata ;” Imannya Abu Thalib seperti imannya Ashabul Kahfi”.
Boleh jadi sebagian para sahabat tidak mengetahui secara terang-terangan akan keimana Abu Thalib. Penyembunyian Iman Abu Thalib sebagai pemuka Bany Hasyim terhadap kafir Quraisy merupakan strategi, siasat dan taktik untuk menjaga dan membela Islam pada awal kebangkitannya yang masih sangat rawan itu sangat membantu tegaknya agama Allah SWT.
Penyembunyian Iman itu banyak dilakukan ummat sebelum Islam sebagaimana banyak kita jumpai dalam Al-Qur’an, seperti Ashabul Kahfi (pemuda penghuni gua), Asiah istri Fir’aun yang beriman pada Nabi Musa a.s dan melindungi, memlihara dan membela Nabi Musa a.s, juga seorang laki-laki dalam kaumnya Fir’aun yang beriman dan membela pada Nabi Musa, Lihat Al-Quran; 40:28 berbunyi :”Dan seorang laki-laki yang beriman diantara pengikut-pengikut (kaum) Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata:’Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki (Musa) karena dia menyatakan: “Tuhanku adalah Allah padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika dia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dosanya itu, dan jika dia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu. Sesungguhnya Allah SWT, tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta”.
Jadi menyembunyikan iman terhadap musuh-musuh Allah tidaklah dilarang dalam Islam. Ada suatu riwayat dizaman Rasulullah saaw, demikian ketika orang-orang kafir berhasil menangkap Bilal, Khabab, Salim. Shuhaib dan Ammar bin Yasar serta ibu bapaknya, mereka digilir disiksa dan dibunuh sampai giliran Ammar,melihat keadaan yang demikian Ammar berjihad untuk menuruti kemauan mereka dengan lisan dan dalam keadaan terpaksa. Lalu dibritahukan kepada Nabi saaw bahwa Ammar telah menjadi kafir, namun baginda Nabi saaw menjawab:” Sekali lagi tidak, Ammar dipenuhi oleh iman dari ujung rambutnya sampai keujung kaki, imannya telah menyatu dengan darah dagingnya”. Kemudian Ammar datang menghadap Rasulullah saaw sambil menangis, lalu Rsulullah saaw mengusap kedua matanya seraya berkata:”Jika mereka mengulangi perbuatannya, mak ulangi pula apa yang telah engkau ucapkan”. Kemudian turunlah ayat (QS; 16;106) sebagai pembenaran tindakan Ammar oleh Allah SWT berfirman:”Barang siapa yang kafir kepada Allah SWT sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (tidak berdosa), akan tetapi orang-orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah SWT menimpahnya dan baginya azab yang besar”.
Imam Muhammad bin Husein Mushalla AlHanafi (yang bermazhab Hanafi) ia menyebut dalam komentar terhadap kitab Syihabul Akhbar karya Muhammad ibn Salamah bahwa: “Barangsiapa yang mencela Abu Thalib hukumnya adalah kafir”. Sebagian ulama dari Mazhab Maliki berpandangan yang sama seperti Ali Al-Ajhuri danAt-Tulsamany, mereka ini berkata orang yang mencela Abu Thalib (mengkafirkan) sama dengan mencela Nabi saaw dan akan menyakiti beliau, maka jika demikian ia telah kafir, sedang orang kafir itu halal dibunuh. Begitu pula ulama besar Abu Thahir yang berpendapat bahwa barangsiapa yang mencela Abu Thalib hukumannya adalah kafir.
Kesimpulannya, bahwa siapapun yang coba-coba menyakiti Rasulullah saaw adalah kafir dan harus diperangi (dibunuh), jika tidak bertaubat. Sedang menurut mazhab Maliki harus dibunuh walau telah taubat. Imam Al-Barzanji dalam pembelaan terhadap Abu Thalib, bahwa sebagian besar dari para ulama, para sufiah dan para aulia’ yang telah mencapai tingkat ”Kasyaf”, seperti Al-Qurthubi, As-Subki, Asy-Sya’rani dll. Mereka sepakat bahwa Abu Thalib selamat dari siksa abadi, kata mereka :” Ini adalah keyakinan kami dan akan mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah SWT kelak”.
Akhirnya mungkin masih ada kalangan yang tanya, bukankah sebagian besar orang masih menganggap Abu Thalib kafir, jawabnya :”Banyaknya yang beranggapan bukan jaminan suatu kebenaran”.
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah SWT. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah SWT) (QS;6:115).
Semoga kita dijadikan sebagian golongan yang mencintai dan mengasihi sepenuh jiwa ruh dan jasad kepada Nabi Muhammad saaw dan Ahlul Baitnya yang telah disucikan dari segala noda dan nista serta para sahabatnya yang berjihad bersamanya yang setia mengikutinya sampai akhir hanyatnya.
Sesungguhnya taufiq dan hidayah hanyalah dari Allah SWT, kepada-Nya kami berserah diri dan kepada-Nya kami akan kembali